Kira-kira apa yang
pertama kali melintas di benak kita saat pertama kali melihat ada satu bayi
yang ketika terlahir dia tidak menangis tapi justru menyanyi dengan bahasa yang
dapat kita mengerti dengan sebegitu jelasnya?? Berani taruhan, dunia pasti gempar. Berita
tentang bayi itu pasti menjadi headline utama di semua media online, media
cetak, televisi, radio, dan menjadi trending topic semua perbincangan. Semua
orang akan terheran dan beropini sesuka hati. Sungguh aneh. Amazing. Bayi
ajaib. Kiamat sudah akan datang. Perubahan genetika yang sangat masif. Dan
komentar-komentar lain sesuai apa yang mereka yakini berdasar latar belakang
ilmu yang mereka miliki.
Jika beberapa waktu
kemudian kembali lagi ada bayi yang mengalami kasus sama, maka orang akan
semakin sibuk dengan memperdalam hipotesis tentang penyebabnya namun
kepopulerannya tidak akan seriuh bayi yang pertama. Jika kemudian ternyata
berikutnya ada berpuluh-puluh bayi dengan kasus yang sama atau bahkan setiap bayi
yang lahir langsung bisa bernyanyi semua, maka sudah bisa dipastikan berita itu
tak kan lagi menggelitik keingintahuan. Mereka sudah menganggapnya suatu hal
yang wajar. Biasa. Walaupun bisa jadi belum ditemukan juga apa sebenarnya
penyebab pastinya.
Lalu apa
hubungannya analogi tadi dengan kehidupan real kita? Hubungan gampangnya adalah
bahwasanya kondisi ‘asing’ itu sebenarnya bukanlah suatu kondisi yang mampu
bertahan lama. Jika kita sekarang merasa menjadi orang yang sangat terasing di
lingkungan kita, maka yakinlah keterasingan itu akan luntur seiring dengan
terbiasanya mereka melihat dan berinteraksi dengan kita. Keterasingan itu
takkan berlangsung selamanya, asal kita tahu bagaimana menyikapinya.
Sering sekali saya
menemui saudari-saudari seperjuangan yang pelan-pelan menanggalkan atribut
akidahnya hanya karena kekhawatiran mereka tentang opini yang akan dibangun orang
terhadapnya. Iya, baru sebatas kekhawatiran yang bahkan belum bergesekan dengan
realitas opini yang sebenarnya. Tapi mereka sudah kalah begitu saja. Bukan
kalah, tapi mengalah lebih tepatnya.
Misalnya saja saat
mereka pertama kali meninggalkan dunia kampus dan harus memasuki dunia barunya
sebagai pekerja. Saat di kampus mereka bisa dan biasa mengenakan pakaian sesuai
syariat, tapi kemudian setelah beberapa bulan saja berkecimpung di dunia kerja,
tiba-tiba penampilannya dirombak semua. Bukan dirombak ‘kemasannya’ namun
sampai merombak ‘esensi dan substansi’ dari nilai pakaian itu sendiri. Dan
cobalah tanya ke mereka, apakah pernah ada orang yang menegur atau mengejek
atau menekan mereka karena pakaian syar’i yang dahulu mereka kenakan sehingga
mereka harus membeo pada kelaziman? Saya yakin, jika pun ada maka itu tak
seberapa. Penyebab terbesar mereka hanyalah karena mereka kalah oleh kekhawatiran
yang mereka buat-buat sendiri dalam angannya.
Bagaimana tanggapan
mereka ya kalau saya tetap berpakaian begini? Saya kayaknya ngga bisa bergaul
dengan mereka deh kalo seperti ini? Ih, saya kok ketinggalan jaman dan
kelihatan katro banget ya di hadapan mbak-mbak yang modis itu? Kayaknya ga papa
deh kalo saya mengecilkan jilbab saya sedikit. Eh kayaknya ga papa juga deh
kalo melilitnya di leher aja. Pake rok juga belibet banget begini ternyata.
Pake celana ga papa juga kan ya, yang penting pakai blus yang longgar hampir
lutut saya. Tapi kok saya kelihatan gendut ya, kecilin dikit deh ukuran
blusnya. Dan tralala... tak sampai setahun, yang pernah getol ngaji dan yang
buta agama akhirnya penampilannya sama saja.
Padahal sebenarnya tak
sesulit itu pada kenyataannya. Jika saja mereka yakin akan kebenaran ‘nilai’
dari pakaian mereka, maka semuanya juga akan berjalan biasa. Awalnya mungkin
canggung dan aneh karena kita menjadi satu-satunya orang yang ‘berbeda’.
Mungkin juga kita akan sering ditanya dan disindir-sindir tentang
ketidaklaziman itu. Tapi yakin saja, jika kita bisa santai menanggapi semua
tekanan itu dalam waktu dua bulan saja, maka jalan setelahnya akan mulus
layaknya kita berkendara dijalan tol pada tengah malam buta. Lancar.
Ngga percaya? Saya
sudah membuktikannya. Begitu juga dengan temen-temen lain yang masih istiqamah dengan
akidahnya. Awalnya ya merasa asing, secara dari sekian ratus pegawai di biro
yang penampilannya ‘berbeda’ hanya ada beberapa gelintir manusia. Dan itupun
sudah mulai nampak ada penyusutan nilai padahal mereka hanya dua-tiga tahun
lebih dulu masuk dari pada saya. Kemudian juga penilaian atasan dan sebagian
besar pegawai lainnya masih belum begitu baik tentang kinerja dan kemampuan
sosialisasi mereka. Maka, tekanan-tekanan itu yang harus saya hadapi pada masa
awal adaptasi saya. Kekhawatiran-kekhawatiran itu pun muncul juga karena
bagaimanapun saya hanyalah anak baru yang belum punya bargaining position di
sana. Tapi saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk mengubah nilai dan esensi
dari penampilan saya karena saya sudah yakin kebenarannya. Mending saya resign
dari pada menjual agama saya hanya untuk bisa tetap bekerja. Maka saya hanya
akan mencari celah tawar di masalah kinerja dan kemampuan bersosialisasi. Tidak
untuk hal-hal yang sudah pasti hukum syariatnya.
Ya biasa,
celetukan-celetukan aneh dari Bapak-Bapak. Pemancingan pertanyaan dari Ibu-Ibu.
Saran-saran yang menjustifikasi: “Mbak kok ngga pernah pakai celana panjang?
Coba deh pakai, pasti kelihatan lebih langsing dan cantik. Emang ngga boleh ya
mbak pakai celana? Saya dosa dong kalo gitu?” Jika saya nanggepinnya dengan
serius maka saya yakin ibu itu pasti langsung kabur jauh-jauh dari saya. Paling
banter dengan santai saya jawab: “Ngga ah Bu, ngga biasa. Risih saya. Lha wong
saya pakai rok aja banyak yang naksir saya, gimana kalo saya pakai celana
panjang, bisa-bisa saya ngga kerja karena ngurus antrian yang mendaftar jadi suami saya..”. Gubrak!!
Hahaha, ngocol kan ya? Tapi serius, jawaban ngaco-ngaco kayak gitu yang paling
aman dan manjur buat menjembatani perbedaan.
Saya pernah juga dikatain
kayak ‘buntel lemper’ sama salah seorang Bapak yang memang tidak bisa
menghargai rekan-rekannya. Hah,,
buntel lemper?! Bete juga sebenarnya, tapi Bapaknya
tipenya emang gitu jadi ya disabar-sabarin aja. Setiap kali bertemu saya
mencoba untuk mendahului menyapa dan memberi senyum. Dan baru beberapa pekan saja,
beliau udah manggil saya ‘Anak wedok’ (bahasa Indonesianya: putriku, anak
perempuanku). Ya begitulah, seiring berjalannya waktu, saya dengan keanehan
penampilan saya ini menjadi bagian dari mereka
juga. Bahkan ada seorang Ibu yang kemudian memutuskan berjilbab, adalagi
tiga ibu-ibu yang sudah lama meninggalkan roknya kemudian konsisten memakai rok
lagi, dan mbak-mbak yang mulai memaklumkan kaos kakinya. Bukan karena saya
tentu saja. Tapi hal itu membuat saya bertambah ringan melangkah karena bisa menumbuhkan keyakinan pada diri
saya bahwa sebenarnya masih ada begitu banyak orang baik di sekitar kita.
Mereka hanya menunggu percik api, maka kemudian mereka bisa menggelorakan bara
keimanan dalam diri mereka sendiri.
Maka jika kemudian sekarang
saya punya bos yang berbalikan dengan saya keseluruhan penampilan dan gaya
hidupnya, maka saya tetap bisa tenang-tenang saja. Dan alhamdulillah tidak
pernah ada gesekan antara saya dengan beliaunya meskipun jurang perbedaan itu
menganga lebar. Beliaunya bisa menerima saya karena kinerja saya dan tidak
pernah mempermasalahkan apa yang saya kenakan. Justru beliau malah lebih care
dengan misalnya memesankan seragam yang sesuai dengan selera saya, bertanya
dulu jika mau ini itu, membiarkan para akhwat tetap memakai roknya pada saat
orientasi pegawai baru yang dulu aturannya amat sangat kaku dan seterusnya.
Nah pada intinya
yang ingin saya sampaikan adalah: sesuatu itu menjadi biasa karena dibiasakan.
Jadi bagi kalian yang saat ini tengah merasa terasing dengan kondisi yang ada
pada kalian padahal kalian yakin bahwa yang kalian pegang itu adalah kebenaran,
maka peganglah terus dan bersikaplah sewajarnya. Jangan terlalu ekstrim dan
bersemangat untuk mengeluarkan dalil pembenaran karena biasanya justru itu
menjadi awal terputusnya hubungan. Jangan juga menakut-nakuti diri sendiri
dengan sesuatu yang belum terjadi, karena itu akan menjadi awal kekalahan
idealisme dan akidah kalian. Tapi pergauli saja mereka secukupnya dengan tidak
terlalu termakan atas apa yang mereka provokasikan, maka lama-kelamaan mereka
pun akan menerima secara terbuka diri kita apa adanya dan penuh kekeluargaan.
Cobalah! ^^
Artikel Yang Menarik! Ayo daftarkan dirimu segera, hanya di DOMINOQQ ONLINE. Hanya dengan minimal dposit 25 ribu saja sudah bisa langsung main dan bisa dapat Jackpot yang besar. Ayo buruan daftarkam segera.
Artikel Yang Menarik! Ayo daftarkan dirimu segera, hanya di DOMINOQQ ONLINE. Hanya dengan minimal dposit 25 ribu saja sudah bisa langsung main dan bisa dapat Jackpot yang besar. Ayo buruan daftarkam segera.
Artikel Yang Menarik! Ayo daftarkan dirimu segera, hanya di DOMINOQQ ONLINE. Hanya dengan minimal dposit 25 ribu saja sudah bisa langsung main dan bisa dapat Jackpot yang besar. Ayo buruan daftarkam segera.
Artikel Yang Menarik! Ayo daftarkan dirimu segera, hanya di DOMINOQQ ONLINE. Hanya dengan minimal dposit 25 ribu saja sudah bisa langsung main dan bisa dapat Jackpot yang besar. Ayo buruan daftarkam segera.