Bait ad-Da’wah, Sebuah Mimpi tentang Masa Depan


posted by Shabra Shatila

No comments


“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Ayat di atas adalah pondasi dasar dari sebuah konsepsi agung tentang fungsi pernikahan atau lebih tepatnya sebagai pijakan bagi pembentukan Baitud Dakwah. Tentu saja kita semua telah paham tentang Baitud Dakwah, karena seorang Mujaddid Da’wah telah meletakkan konsepnya dengan begitu mapan, visioner, dan realistis yang bersumber dari arahan Alloh dari ayat tersebut. Konsepsi tentang bagaimana menjadikan tatanan keluarga sebagai komponen utama penggerak dakwah yang akan menjadi modal utama bagi usaha untuk merealisasikan kekhalifahan di bumi. Bermula dari individu-individu bercahaya yang bersatu dalam bingkai kesakinahan pernikahan sehingga menghasilkan cahaya yang lebih besar yang idealnya akan mampu mencahayai lebih banyak keluarga lainnya yang masih berkubang dalam kegelapan.
Namun, ternyata bukanlah urusan mudah menjadikan keluarga kecil kita menjadi sebenar-benar rumah yang memancarkan nilai dakwah ilahiyah. Fakta di lapangan memperlihatkan betapa kader kita banyak yang ‘berguguran’ justru setelah proses penggenapan Dien. Cahaya-cahaya yang diharapkan mampu menerangi rumahnya dan rumah-rumah lainnya ternyata justru meredup seiring dengan kebersamaannya. Sehingga pada akhirnya hanya teori-teori tentang baitud dakwah yang telah khatam kita hafalkan namun kita masih nol dalam perealisasian. Tentu saja hal ini perlu kita pertanyakan apakah sebabnya dan kemudian kita carikan solusi bersama. Apakah konsepsi yang telah disusun oleh Masyaikh kita tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini? Atau permasalahannya ada pada kita sendiri yang tidak mau memperjuangkan agar konsepsi-konsepsi tersebut menyata dalam rumah-rumah kecil kita?

Saya sangat sependapat bahwa Baitud Da’wah itu bukanlah perkara mudah. Sulit. Sangat sulit malahan. Butuh kemauan dan komitmen yang terus selalu dijaga baranya di dalam hati dari tiap-tiap individu penyusun keluarga. Jadi saat bara di salah satu individu mulai meredup, partner da’wah kita dalam keluarga siap membagi apinya kepada kita. Namun dengan tanpa saling meletakkan tanggung jawab tersebut ke salah satu pihak saja. Penjagaan itu harus dilakukan masing-masing dari anggota keluarga. Karena jika saling mengandalkan pasangan, maka lambat laun yang terjadi hanyalah pemadaman bersama. Baik cepat maupun perlahan.
Dengan segala kesulitan tersebut, tentu saja bukan berarti tidak bisa. Kita bisa berguru kepada keluarga-keluarga yang telah berhasil mengubah konsepsi-konsepsi tentang baitud dakwah dari tataran teori ke dalam tataran praktek. Banyak sekali contohnya, meskipun indikator yang digunakan berbeda dari masing-masing keluarga. Namun visinya tetap sama yaitu menjadi keluarga-keluarga da’wah. Mungkin di tataran nasional kita pernah mendengar keluarga dari 10 bintang al-Quran dan keluarganya Ustadz Budi dengan Bunda Yoyoh. Dan jika kita mau mencari, akan kita temukan jauh lebih banyak lagi tentang miniatur rumah dakwah ini dalam lingkup yang lebih kecil. Satu hal yang bisa kita ambil dari mereka, bahwa apa yang mereka capai sekarang bukanlah buah tanpa usaha. Mereka adalah orang-orang yang telah menggunakan segenap kemauan dan kemampuannya untuk mewujudkannya. Mereka adalah orang-orang yang rela berjalan tertatih-tatih untuk sampai pada keadaannya sekarang. Mereka adalah orang-orang yang mempersedikit tidur dan meninggalkan kesibukan-kesibukan yang tiada berguna, seberapapun senangnya mereka dengan kesibukan tersebut. Tentu saja demi Dia. Demi jual beli yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya. Lalu kenapa kita tidak bisa?

Bagi saya sendiri, semua itu masih menjadi konsepsi. Dan entahlah, apakah nanti saya akan bisa memperjuangkannya hingga di akhir kemampuan saya ataukah saya juga akan terlena dengan segala kesenangan dan kesibukan dalam keluarga yang tidak lagi bernilai dakwah. Kepada Alloh saya senantiasa memohon agar saya bisa menikah di jalan dakwah, membentuk keluarga dalam dakwah, dan matipun dalam wanginya nafas dakwah.

Bait ad-da’wah, dalam mimpi saya bukanlah sebuah istilah. Tapi saya ingin menjadikannya nama dari rumah saya dengan keluarga kelak. Dalam bayangan saya rumah itu adalah rumah yang sederhana namun lapang. Lapang dalam artian sebenarnya bahwa rumah itu luas dan juga lapang karena penghuninya telah dihiasi hatinya oleh Alloh dengan kesyukuran. Di sana keluarga inti saya tinggal dan juga kedua pasang orang tua kami jikalau mereka bersedia, agar kami mempunyai kesempatan untuk merawat mereka dalam masa senjanya sebagai bentuk bakti kami kepada mereka. Tentu saja rumah kami bukanlah untuk kami saja. Di sana adalah rumah bagi anak-anak yang telah kehilangan orang tuanya atau yang dititipkan pengasuhannya kepada kami, yang akan kami asuh sebaik-baiknya sebagaimana anak kami sendiri.

Sudah terbayangkan dalam pandangan saya, betapa menyenangkannya rumah kami nanti dengan riuh rendahnya suara anak-anak itu. Suara mereka saat bermain, saat belajar, saat mengaji, dan saat makan bersama. Menjadi apapun mereka nantinya, Bait ad-da’wah kami harus bisa mengawal mereka menjadi para hafizh quran dan menjadi orang-orang bermental da’i yang siap terjun ke masyarakat, apapun profesi mereka.

Tidak hanya itu saja, rumah kami nanti adalah rumah yang terbuka untuk masyarakat di sekeliling kami. Ada ruangan besar untuk pertemuan, selain ruang keluarga yang luas. Di mana di ruang pertemuan itu akan diagendakan da’wah secara lebih luas kepada orang-orang di sekitar kami. Untuk TPA anak-anak tetangga, untuk pengajian Ibu-Ibu, atau juga untuk pertemuan-pertemuan warga yang sifatnya positif. Hmmhh, sempurna ya mimpinya?

Ya, namun itu hanyalah mimpi. Yang tidak akan pernah menyata tanpa dengan usaha. Walaupun sekarang saya bilang, semuanya hampir tidak mungkin. Namun bagi Alloh apa sih yang tidak? Sengaja saya menulis ini di sini agar sekiranya nanti saya lupa karena pergulatan kepentingan dan kondisi yang menimpa saya dalam perjalanan waktu ke depannya, maka Alloh akan berkenan mengingatkan saya kembali melalui memoar ini. Bismillah bi idznillah...

Lalu apa mimpi Anda terhadap keluarga da’wah Anda? Segera tuliskan saja, agar tidak terlupa karena syetan sering membuat kita sibuk dengan hal-hal kecil dan melupakan cita-cita besar kita.. ^^

Leave a Reply