MENIMBANG AMAL


posted by Shabra Shatila

No comments



Apakah anda saat ini sedang mengerjakan hal-hal besar? Jika iya, maka selamat untuk Anda, karena para pahlawan memang dilahirkan untuk memikul amanah-amanah besar yang tidak bisa dipikul oleh sembarang orang. Namun tunggu dulu, label ‘hal besar’ itu dipandang dari perspektif Anda sendiri, orang-orang umum di sekitar Anda, atau dari kaca mata siapa?

Kenapa saya menanyakan hal ini? karena saya sadar bahwa saya dan mungkin juga Anda, sering sekali menilai bobot suatu pekerjaan hanya dari lahirnya dan dari perspektif manusia-manusia di sekitar kita saja. Dengan melupakan perspektif lain yang jauh lebih krusial bagi diri kita.

Besar kecilnya pekerjaan jika dalam fiqh aulawiyat (fiqh prioritas) dipandang dari empat kaidah dasar, dimulai dari pekerjaan yang penting dan mendesak, pekerjaan yang tidak penting tapi mendesak, pekerjaan yang penting tapi tidak mendesak, serta pekerjaan yang tidak penting dan tidak mendesak. Penekanan mana pekerjaan yang harus didahulukan dalam buku tersebut mengacu pada ‘deadline’ pekerjaan. Hal tersebut tentu saja akan membuat hidup kita lebih sistematis dan membantu kita  tidak salah kaprah dalam memanajemen usia kita yang sangat singkat itu, agar tidak habis hanya untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak berguna. Namun, sebelum kita menjadikan program prioritas ini sebagai bagian tak terpisahkan dari ‘watak’ kita, maka akan lebih baik jika kita mempunyai ilmu tentang bagaimana menimbang besaran pekerjaan, amanah, atau amal; agar kita tidak salah memprioritaskan.

Jika misalnya saat ini Anda dihadapkan pada situasi dimana Anda diundang untuk menghadiri jamuan makan dengan Presiden bersama ratusan tamu yang lain, dan dalam waktu yang sama Anda juga menerima undangan dari panti asuhan untuk berbuka puasa dengan anak-anak yatim; maka undangan mana yang akan Anda hadiri?

Kalau saya bertanya kepada diri saya, maka tanpa berpikir lagi saya akan memenuhi undangan yang pertama dengan segera. Saya akan mempersiapkan momen itu jauh-jauh hari. Pakaian mana yang akan dipakai, jika dirasa sudah tidak ada yang ‘layak’ untuk menghadap orang nomor satu di negeri ini, maka dengan senang hati saya akan merogoh kocek saya untuk membelinya. Kendaraan yang akan digunakan untuk pergi ke sana. Make up untuk mempercantik wajah saya [walaupun mau di make up kayak apa ya gini-gini aja pastinya ;p]. Wajar dong, secara mungkin kesempatan itu tidak akan datang dua kali dalam hidup saya. Sedangkan ke panti asuhan bisa kapan saja.

Yah begitulah, saya masih sering memandang sesuatu hal hanya dari kemasan luarnya. Tentang prestise, gengsi, dan kebanggaan pribadi. Tentang apa dan bagaimana orang akan memandang saya. Semuanya terhenti pada manfaat dunia. Tanpa saya mencoba melihat nilai manfaat di akhirat nanti. Benarkah apa yang saya anggap besar tadi juga besar dalam timbangan-Nya? Bagaimana jika saya sudah merasa melakukan banyak amalan besar di dunia tapi termasuk dalam yang tersebut dalam QS. Al-Furqan ayat 23: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan (amalan) itu bagaikan debu yang beterbangan.”

Padahal hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang amalan kecil yang berat timbangannya dan juga tentang amalan besar yang tak ada nilainya itu bejibun banyaknya. Cuma kok ya tarikan dunia itu begitu menggoda. Sehingga kita masih saja seringkali mengabaikan hal-hal yang dalam perspektif kita kecil, dengan melupakan akibat di akhirat nantinya.

Tentu kita masih ingat kisah tentang seorang pezina yang diampuni oleh Allah swt karena berbaik hati memberi minum anjing yang kehausan sebagaimana tercantum dalam Shahih Muslim dan juga shahih Bukhari.

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Seorang wanita pezina melihat seekor anjing yang berputar-putar di atas sumur pada hari yang panas. Anjing itu menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu menimba air dari sumur dengan sepatunya, maka dia diampuni.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Seorang wanita pezina diampuni. Dia melewati seekor anjing di bibir sumur yang sedang menjulurkan lidahnya. Ia hampir mati karena haus. Lalu wanita itu melepas sepatunya dan mengikat dengan kerudungnya dan menimba air dengannya untuk anjing itu. Dia diampuni karenanya.” (HR. Bukhari)

Itu adalah contoh amal baik kecil yang membawa nikmat yang teramat besar. Ada juga contoh amal buruk kecil yang membawa petaka yang teramat besar pula, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari.

Dari Ibnu Umar dari Nabi saw bersabda, “Seorang wanita masuk Neraka karena seekor kucing yang diikatnya. Dia tidak memberinya makan dan tidak membiarkannya makan serangga bumi.”

Bukankah amal baik dan amal buruk yang membawa ke surga dan neraka dari hadis di atas menurut hemat kita bukanlah hal-hal yang bisa dianggap sebagai hal besar? Bahkan terlihat remeh temeh semata. Hanya karena keberlangsungan hidup seekor anjing dan kucing. Bukan tentang kehidupan seorang manusia atau masa depan masyarakat/umat. Ya, hanya karena hewan. Yang salah satunya bahkan ‘hanyalah’ hewan yang najis. Tapi begitulah cara Allah swt melalui Rasul-Nya mengajarkan kepada kita agar tidak pernah menganggap enteng suatu amalan yang nampak kecil, karena kita tidak pernah tahu mungkin saja amal kecil itulah yang akan mengantarkan kita ke surga atau menjerumuskan kita ke neraka.

Maka sebelum usia kita habis untuk mengurusi hal-hal yang ‘nampak besar’, tak ada salahnya juga kita menyelipkan dalam aktivitas kita amal-amal sederhana. Bermuka manis di depan teman, mendahului salam, memberi senyuman, menata sendal, menyingkirkan duri/batu di tempat yang banyak dilalui orang, memungut sampah yang tercecer, dan banyak amal lain yang sebelumnya terabai dan tak terbetik dalam benak kita akan menjadi tangga menuju surga. Karena sungguh, amal kecil bisa bernilai sangat besar dengan niat yang baik dan benar.

Azamkan juga niat dalam hati untuk menghindarkan diri dari perkara-perkara kecil yang tidak baik seperti bermuka masam, membuang sampah kecil (bekas tisu, puntung rokok, bungkus permen) sembarangan, tidak meminta ijin memakai barang kepunyaan seseorang yang ditaruh di tempat bersama (sendal, pasta gigi, sisir dll) dan sederet adat buruk yang telah menjadi kebiasaan, karena bisa jadi hal-hal sepele itu yang akan menjatuhkan kita ke jurang kebinasaan. Bukankah orang sering kali terjatuh bukan karena menabrak batu besar di hadapan, tetapi mereka terjatuh justru karena tersandung/tergelincir kerikil kecil yang tak nampak dalam penglihatannya..?!

Leave a Reply