Membiasakan yang Tak Biasa


posted by Shabra Shatila

4 comments


Kira-kira apa yang pertama kali melintas di benak kita saat pertama kali melihat ada satu bayi yang ketika terlahir dia tidak menangis tapi justru menyanyi dengan bahasa yang dapat kita mengerti dengan sebegitu jelasnya?? Berani taruhan, dunia pasti gempar. Berita tentang bayi itu pasti menjadi headline utama di semua media online, media cetak, televisi, radio, dan menjadi trending topic semua perbincangan. Semua orang akan terheran dan beropini sesuka hati. Sungguh aneh. Amazing. Bayi ajaib. Kiamat sudah akan datang. Perubahan genetika yang sangat masif. Dan komentar-komentar lain sesuai apa yang mereka yakini berdasar latar belakang ilmu yang mereka miliki.

Jika beberapa waktu kemudian kembali lagi ada bayi yang mengalami kasus sama, maka orang akan semakin sibuk dengan memperdalam hipotesis tentang penyebabnya namun kepopulerannya tidak akan seriuh bayi yang pertama. Jika kemudian ternyata berikutnya ada berpuluh-puluh bayi dengan kasus yang sama atau bahkan setiap bayi yang lahir langsung bisa bernyanyi semua, maka sudah bisa dipastikan berita itu tak kan lagi menggelitik keingintahuan. Mereka sudah menganggapnya suatu hal yang wajar. Biasa. Walaupun bisa jadi belum ditemukan juga apa sebenarnya penyebab pastinya.

Lalu apa hubungannya analogi tadi dengan kehidupan real kita? Hubungan gampangnya adalah bahwasanya kondisi ‘asing’ itu sebenarnya bukanlah suatu kondisi yang mampu bertahan lama. Jika kita sekarang merasa menjadi orang yang sangat terasing di lingkungan kita, maka yakinlah keterasingan itu akan luntur seiring dengan terbiasanya mereka melihat dan berinteraksi dengan kita. Keterasingan itu takkan berlangsung selamanya, asal kita tahu bagaimana menyikapinya.

Sering sekali saya menemui saudari-saudari seperjuangan yang pelan-pelan menanggalkan atribut akidahnya hanya karena kekhawatiran mereka tentang opini yang akan dibangun orang terhadapnya. Iya, baru sebatas kekhawatiran yang bahkan belum bergesekan dengan realitas opini yang sebenarnya. Tapi mereka sudah kalah begitu saja. Bukan kalah, tapi mengalah lebih tepatnya.

Misalnya saja saat mereka pertama kali meninggalkan dunia kampus dan harus memasuki dunia barunya sebagai pekerja. Saat di kampus mereka bisa dan biasa mengenakan pakaian sesuai syariat, tapi kemudian setelah beberapa bulan saja berkecimpung di dunia kerja, tiba-tiba penampilannya dirombak semua. Bukan dirombak ‘kemasannya’ namun sampai merombak ‘esensi dan substansi’ dari nilai pakaian itu sendiri. Dan cobalah tanya ke mereka, apakah pernah ada orang yang menegur atau mengejek atau menekan mereka karena pakaian syar’i yang dahulu mereka kenakan sehingga mereka harus membeo pada kelaziman? Saya yakin, jika pun ada maka itu tak seberapa. Penyebab terbesar mereka hanyalah karena mereka kalah oleh kekhawatiran yang mereka buat-buat sendiri dalam angannya.

Bagaimana tanggapan mereka ya kalau saya tetap berpakaian begini? Saya kayaknya ngga bisa bergaul dengan mereka deh kalo seperti ini? Ih, saya kok ketinggalan jaman dan kelihatan katro banget ya di hadapan mbak-mbak yang modis itu? Kayaknya ga papa deh kalo saya mengecilkan jilbab saya sedikit. Eh kayaknya ga papa juga deh kalo melilitnya di leher aja. Pake rok juga belibet banget begini ternyata. Pake celana ga papa juga kan ya, yang penting pakai blus yang longgar hampir lutut saya. Tapi kok saya kelihatan gendut ya, kecilin dikit deh ukuran blusnya. Dan tralala... tak sampai setahun, yang pernah getol ngaji dan yang buta agama akhirnya penampilannya sama saja.

Padahal sebenarnya tak sesulit itu pada kenyataannya. Jika saja mereka yakin akan kebenaran ‘nilai’ dari pakaian mereka, maka semuanya juga akan berjalan biasa. Awalnya mungkin canggung dan aneh karena kita menjadi satu-satunya orang yang ‘berbeda’. Mungkin juga kita akan sering ditanya dan disindir-sindir tentang ketidaklaziman itu. Tapi yakin saja, jika kita bisa santai menanggapi semua tekanan itu dalam waktu dua bulan saja, maka jalan setelahnya akan mulus layaknya kita berkendara dijalan tol pada tengah malam buta. Lancar.

Ngga percaya? Saya sudah membuktikannya. Begitu juga dengan temen-temen lain yang masih istiqamah dengan akidahnya. Awalnya ya merasa asing, secara dari sekian ratus pegawai di biro yang penampilannya ‘berbeda’ hanya ada beberapa gelintir manusia. Dan itupun sudah mulai nampak ada penyusutan nilai padahal mereka hanya dua-tiga tahun lebih dulu masuk dari pada saya. Kemudian juga penilaian atasan dan sebagian besar pegawai lainnya masih belum begitu baik tentang kinerja dan kemampuan sosialisasi mereka. Maka, tekanan-tekanan itu yang harus saya hadapi pada masa awal adaptasi saya. Kekhawatiran-kekhawatiran itu pun muncul juga karena bagaimanapun saya hanyalah anak baru yang belum punya bargaining position di sana. Tapi saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk mengubah nilai dan esensi dari penampilan saya karena saya sudah yakin kebenarannya. Mending saya resign dari pada menjual agama saya hanya untuk bisa tetap bekerja. Maka saya hanya akan mencari celah tawar di masalah kinerja dan kemampuan bersosialisasi. Tidak untuk hal-hal yang sudah pasti hukum syariatnya.

Ya biasa, celetukan-celetukan aneh dari Bapak-Bapak. Pemancingan pertanyaan dari Ibu-Ibu. Saran-saran yang menjustifikasi: “Mbak kok ngga pernah pakai celana panjang? Coba deh pakai, pasti kelihatan lebih langsing dan cantik. Emang ngga boleh ya mbak pakai celana? Saya dosa dong kalo gitu?” Jika saya nanggepinnya dengan serius maka saya yakin ibu itu pasti langsung kabur jauh-jauh dari saya. Paling banter dengan santai saya jawab: “Ngga ah Bu, ngga biasa. Risih saya. Lha wong saya pakai rok aja banyak yang naksir saya, gimana kalo saya pakai celana panjang, bisa-bisa saya ngga kerja karena ngurus antrian yang mendaftar jadi suami saya..”. Gubrak!! Hahaha, ngocol kan ya? Tapi serius, jawaban ngaco-ngaco kayak gitu yang paling aman dan manjur buat menjembatani perbedaan.

Saya pernah juga dikatain kayak ‘buntel lemper’ sama salah seorang Bapak yang memang tidak bisa menghargai rekan-rekannya. Hah,, buntel lemper?! Bete juga sebenarnya, tapi Bapaknya tipenya emang gitu jadi ya disabar-sabarin aja. Setiap kali bertemu saya mencoba untuk mendahului menyapa dan memberi senyum. Dan baru beberapa pekan saja, beliau udah manggil saya ‘Anak wedok’ (bahasa Indonesianya: putriku, anak perempuanku). Ya begitulah, seiring berjalannya waktu, saya dengan keanehan penampilan saya ini menjadi bagian dari mereka  juga. Bahkan ada seorang Ibu yang kemudian memutuskan berjilbab, adalagi tiga ibu-ibu yang sudah lama meninggalkan roknya kemudian konsisten memakai rok lagi, dan mbak-mbak yang mulai memaklumkan kaos kakinya. Bukan karena saya tentu saja. Tapi hal itu membuat saya bertambah ringan melangkah karena bisa menumbuhkan keyakinan pada diri saya bahwa sebenarnya masih ada begitu banyak orang baik di sekitar kita. Mereka hanya menunggu percik api, maka kemudian mereka bisa menggelorakan bara keimanan dalam diri mereka sendiri.

Maka jika kemudian sekarang saya punya bos yang berbalikan dengan saya keseluruhan penampilan dan gaya hidupnya, maka saya tetap bisa tenang-tenang saja. Dan alhamdulillah tidak pernah ada gesekan antara saya dengan beliaunya meskipun jurang perbedaan itu menganga lebar. Beliaunya bisa menerima saya karena kinerja saya dan tidak pernah mempermasalahkan apa yang saya kenakan. Justru beliau malah lebih care dengan misalnya memesankan seragam yang sesuai dengan selera saya, bertanya dulu jika mau ini itu, membiarkan para akhwat tetap memakai roknya pada saat orientasi pegawai baru yang dulu aturannya amat sangat kaku dan seterusnya.

Nah pada intinya yang ingin saya sampaikan adalah: sesuatu itu menjadi biasa karena dibiasakan. Jadi bagi kalian yang saat ini tengah merasa terasing dengan kondisi yang ada pada kalian padahal kalian yakin bahwa yang kalian pegang itu adalah kebenaran, maka peganglah terus dan bersikaplah sewajarnya. Jangan terlalu ekstrim dan bersemangat untuk mengeluarkan dalil pembenaran karena biasanya justru itu menjadi awal terputusnya hubungan. Jangan juga menakut-nakuti diri sendiri dengan sesuatu yang belum terjadi, karena itu akan menjadi awal kekalahan idealisme dan akidah kalian. Tapi pergauli saja mereka secukupnya dengan tidak terlalu termakan atas apa yang mereka provokasikan, maka lama-kelamaan mereka pun akan menerima secara terbuka diri kita apa adanya dan penuh kekeluargaan. Cobalah! ^^





4 comments

Leave a Reply