Budak-Budak Persepsi Kecantikan


posted by Shabra Shatila on ,

2 comments

Cantik. Siapa sih wanita yang tidak tergila-gila dengan satu kata itu? Tentu saja ‘normalnya’ sih tidak ada, karena secara fitrah dan insting alaminya, wanita telah diciptakan sebagai makhluk yang senang berhias dan cinta keindahan. Makanya tak heran jika para pebisnis kemudian berlomba-lomba untuk memproduksi segala tetek bengek untuk kecantikan wanita karena pangsa pasarnya sungguh luar biasa dan keuntungan yang dihasilkanpun sangat menggiurkan. Bagaimana tidak?! Karena walaupun wanita pada umumnya cukup ‘pelit’ dalam membelanjakan uangnya, namun mereka jadi bisa begitu royalnya untuk kebutuhan mempercantik dirinya.

Ternyata untuk kecantikan, wanita tidak hanya royal dalam membelanjakan uang. Namun lebih dari itu, ada beberapa wanita dari suku-suku tertentu rela ‘menyiksa’ dirinya demi bisa mendapatkan gelar prestise ‘wanita tercantik’ di suku tersebut yang layak dipersunting oleh para ningrat dan konglomerat. Entahlah, tersiksakah mereka dengan segala tuntutan untuk menjadi cantik itu atau mereka menikmatinya. Tapi bagi saya sendiri, sangat menyedihkan melihat mereka menjalani ritual yang saya yakin sangat menyakitkan secara fisik. Seolah-olah wanita itu makhluk yang dilahirkan hanya untuk merasakan kutukan adat berupa penyiksaan jangka panjang yang mengatasnamakan kecantikan.
Sebutlah salah satunya tradisi Labret di Suku Mursi Ethiopia. Di suku ini ukuran kecantikan yang digunakan adalah bibir lebar. Tentu saja bukan bibir lebar karena keturunan. Tapi bibir yang dipaksa melebar. Mau tau caranya? Pertama kali dengan membuat tindikan pada bibir bawah kira-kira selebar 2-3 cm, Lalu, semacam piringan oval diletakkanpada lubang itu. Setiap dua sampai tiga minggu, piringan itu diganti dengan diameter yang lebih besar. Hal ini terus berlangsung hingga diameter bibir mereka mencapai 15-25 cm. Semakin mereka bisa menahan siksaan rasa sakit maka semakin lebarlah bibir mereka. Semakin lebar bibir mereka, semakin cantik pulalah mereka. Halo,, apakah Anda bisa membayangkan jika kutukan itu diberikan kepada Anda? Sedangkan memasang kawat behel saja sakitnya sudah luar biasa. Tak terbayangkan bagaimana caranya mereka minum? Bagaimana mereka bisa mencecap enaknya makanan? Dan apalagi -maaf- dengan bentuk bibir seperti itu mustahil mereka bisa merasakan manisnya berciuman. Right?



Beda lagi dengan persepsi kecantikan di daerah Kayan atau Karen, sebuah daerah terpencil dengan beberapa suku minoritas yang tinggal di perbatasan Burma dan Thailand, khususnya suku Padaung atau Pa Dong. Wanita-wanita cantik di sini adalah mereka yang lehernya panjang semampai laksana leher jerapah. Caranya adalah dengan melilitkan kalung istimewa dari tembaga yang berwarna kuning. Semakin banyak kalung yang bertengger dileher wanita itu, semakin cantik pulalah ia dalam anggapan mereka. Anda mau mencobanya?



Tentu saja masi banyak persepsi tidak lumrah mengenai kecantikan di penjuru dunia. Wanita Cina sebelum Sun Yat Sen berkuasa, mereka memperkecil ukuran telapak kakinya dengan terus-terusan memakai sepatu dari logam yang berat sehingga telapak kaki mereka tidak berkembang dan hanya berukuran setengah telapak kaki normal. Warga Mauritius, sebuah negara kepulauan di barat daya Samudra Hindia berbeda lagi dalam memandang kecantikan. Wanita cantik di sana adalah yang bertubuh subur dan besar. Atau bahasa kerennya, gendut. Sejak mulai beranjak remaja gadis-gadis mereka dipaksa oleh orangtuanya untuk memakan makanan yang banyaknya luar biasa yang disebut dengan tradisi Leblouh. Di sini saya bilang memaksa karena ada hukuman yang diberikan jika mereka menolak melakukannya. Walaupun mereka harus muntah-muntah karena tidak kuat dan perut terasa ingin pecah. Luar biasa mengerikan bukan?

Mungkin anda tidak setuju jika perbuatan itu saya kategorikan sebagai penyiksaan, karena itu termasuk budaya. Tapi bagi saya, hal itu adalah budaya yang terlalu dipaksakan. Oke, jika mereka melakukannya dengan rasa bangga dan suka rela serta tidak ada resiko bagi kesehatan dan keselamatan mereka. Namun faktanya, resiko kematian bagi mereka sangatlah besar. Dimulai dari perusakan susunan tulang dan perubahan bentuk tubuh, yang mengakibatkan menurunnya fungsi organ-organ pada tubuh mereka. Mereka pun tidak bisa merasakan betapa membahagiakannya bisa bergerak dengan bebas, menari, berlari, meloncat-loncat sesuka hati tanpa khawatir ada cidera yang akan membawa pada maut.

Huffh,, rasanya kita harus banyak-banyak bersyukur karena terlahir di bagian bumi yang tidak memperbudak kita demi mempersepsikan sepenggal kata. Kita lahir di jaman modern. Jaman smartphone. Jadi kita tidak perlu menyiksa diri kita dengan barang-barang aneh yang ditempelkan secara paksa di tubuh-tubuh kita. Kita bebas dari segala bentuk eksploitasi. Kita adalah wanita yang merdeka.. Luar biasa..!!

Eh, tapi tunggu sebentar kawan.. Benarkah kita sudah benar-benar dimerdekakan? Benarkah bahwa kita tidak sedang dieksploitasi sekarang? Benarkah bahwa kita tak lagi menjadi budak-budak kecantikan?

Maaf.. ternyata tiba-tiba saya meragu. Benarkah demikian?

2 comments

Leave a Reply