tak tergenggam


posted by ayu on

1 comment

Potoku muncul gak di bbm mu?

Saya melirik. Subhanallah, foto beliau berjilbab. Cantik
Lisan saya lirih berucap hamdalah, memuja Pemilik hati yang demikian mudah terbolak balik.  Sementara mata tiba tiba berkaca kaca.
Selalu begitu.
Setiap kali ada teman, saudara, kerabat, atau bahkan orang yang sebelumnya tidak saya kenal sekalipun, yang kemudian memutuskan untuk berjilbab, saya sering tidak kuasa menahan air mata. Betapa hidayah adalah anugerah yang demikian indah. Sebuah anugerah istimewa yang hanya Alloh berikan bagi orang yang dikehendakiNya. Hanya yang dipilih olehNya yang kemudian tergerak memenuhi perintah menutup auratnya dengan sempurna.



Cerita saya dan jilbab mungkin tidak begitu istimewa. Alloh memudahkan jalan saya mengenal jilbab. Saya mengenakan jilbab atas ‘instruksi’ ibu saya, sejak tercatat sebagai siswa SMA. Meski demikian, jilbab yang saya gunakan berproses, mulai dari seadanya, hingga ‘wajibmenutupdada’. Pun dalam keseharian, dulu teman teman sekolah saya yang maen ke rumah, masih akan mendapati kuncir kuda dan kostum suka suka. Pelan pelan saya berproses, hingga akhirnya ke warung sebelah pun, jilbab tidak pernah ketinggalan.
Banyak cerita jilbab pertama yang luar biasa, seperti teman saya yang niat mulia berjilbabnya harus diawali dengan raut masam ibundanya sekian lama, ada pula teman lain yang membaca sebuah buku, menemukan wajibnya hukum berjilbab, hingga gemetar seluruh tubuhnya, tidak berhenti tangisnya, dan saat itulah hidayah menyapanya.

Jilbab, sebagai mahkota kemuliaan muslimah, tentu tidak hanya bermakna sekedar penutup kepala. Sebagaimana shalat, tidak sebatas dilakukan sebagai penggugur kewajiban. Jilbab hendaknya menjadi katalis semangat berlomba untuk kehidupan akhirat, menjadi satu simbol keinginan mendekat pada Pemilik Jagad, menjadi satu awal perubahan menuju kebaikan. Semangat inilah yang benderang nyalanya pada saudari saudari yang baru menemukan keindahan jilbab, namun seringkali memudar seiring dengan pergantian malam dan siang.

Di satu sisi, kemudahan saya mengenakan jilbab dan dukungan dari orang orang terdekat adalah satu nilai lebih, dimana seharusnya dengan kondisi demikian saya bisa lebih leluasa belajar keislaman. Sekaligus  lebih istiqomah menggunakan dan memaknai penggunaan jilbab itu sendiri. Namun di sisi lain, proses yang mudah seringkali membuat saya terlena, dan menjadi kering pemaknaan terhadap kemuliaan jilbab yang seharusnya membawa dampak makin mulianya akhlak. Seringkali saya pun lupa, bahwa hidayah berjilbab ini tidak bergaransi seumur hidup saya di dunia.

Liat foto bbm mbak X gak? Udah lepas jilbab dia sekarang
Berbarengan dengan jatuhnya air mata syukur saya, terselip air mata lain, ketakutan.. Sebab hidayah yang tidak dipelihara, bisa diambil kembali oleh pemiliknya.  Kapan saja.

1 comment

  1. Anonymous

Leave a Reply