BAGAIMANA BILA SAYA MATI DALAM…


posted by Shabra Shatila on

No comments





Jumat kemarin, teman-teman seruangan saya mengadakan acara perpisahan bagi salah seorang pegawai yang purnabakti setelah mengabdi kepada Negara selama 34 tahun lamanya. Acara sengaja tidak diadakan di kantor agar terkesan lebih ‘pribadi’ dan tidak terjebak dalam keadaan formal. Maka pada akhirnya diputuskanlah untuk meminjam apartemen Bu Bos yang letaknya di belakang kantor sebagai tempat acara, agar jika sewaktu-waktu ada panggilan mendadak dan pekerjaan yang segera kami bisa langsung kembali ke kantor secepatnya.

Acara dipersiapkan secara sederhana, namun meriah. Ada acara lomba karaokenya untuk menambah kedekatan antar pegawai. Disiapkan juga doorprize-doorprize kecil-kecilan untuk menambah semaraknya acara. Sebelum berangkat perasaan saya sudah sangat tidak enak. Tapi saya tidak mungkin tidak ikut, karena bagaimanapun semua orang turut serta sebagai bentuk penghormatan kepada si Ibu yang telah menyelesaikan masa baktinya. Apalagi saya termasuk orang yang cukup dekat dengan Ibu yang purnabakti ini. Jadi berangkatlah saya bersama yang lain, dengan komitmen sedari awal saya tidak mau ikut karaokeannya. Cukuplah suara saya, didengar oleh cicak dan semut yang ada di dalam kamar kos saya hehe..

Acara berjalan lancar. Penuh kedekatan dan kekeluargaan. Sederhana, namun meriah. Si Ibu yang purnabakti pun sampai tidak bisa memberi sepatah dua patah kata selain air mata. Haru. Namun entahlah, dalam hati saya ada alarm yang terus meraung-raung yang coba saya abaikan. Kisah kakak beradik yang bersilang takdir itu terus saja berkelebat dalam benak saya. Pasti Anda juga sudah hafal betul kisah dua orang bersaudara di mana salah satunya ahli maksiat dan yang satu lagi seorang abid, namun saat sakaratul maut mereka berganti peran. Si ahli maksiat meninggal di jalan pertaubatan, dan si ahli ibadah meninggal di jalan kesesatan. Saya tidak merasa diri saya selama hidup bisa dikategorikan sebagai orang baik dan ahli ibadah, namun saya tidak mau juga meninggal dalam keadaan bermaksiat kepada-Nya.

Dari Abu ‘Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda, – dan beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan - “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 hal: rezeki, ajal, amal dan celaka/bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Bad’ul Khalq)

Tentu saja hadist tersebut tidak bisa kita artikan bahwa Allah tidak adil, karena Ia seolah-olah memaksakan Kehendak-Nya kepada manusia. Karena ada hadist lain yang bisa menjadi pembanding hadist ini yaitu:

Sesungguhnya ada di antara kalian yang beramal dengan amalan ahli Surga menurut pandangan manusia, padahal sebenarnya ia penduduk Neraka.” (HR. Muslim no. 112)

Intinya Allah lebih mengetahui apa yang ada di dalam hati hamba-Nya. Bukanlah kewenangan kita untuk menghakimi Allah, karena tidak ada hakim yang lebih adil selain-Nya. Hadist di atas selayaknya kita jadikan pegangan agar saat kita ingin mencobai hal-hal yang berbau maksiat, kita akan cepat mengingat bahwa bisa jadi maksiat yang akan kita lakukan itu adalah amal terakhir yang akan menutup rangkaian perjalanan hidup kita. Yang membuat segala ‘amal yang seolah-olah kita lihat baik’ sepanjang hidup kita tersia begitu saja. Naudzubillah, semoga Allah melindungi kita dari akhir kehidupan yang buruk, dan berkenan menutup lembar hidup kita dengan amalan yang diridhai-Nya saja..

 Lanjut ke acara perpisahan itu, saat acara masih berlangsung meriah dengan acara karaoke bergantian, tiba-tiba salah seorang pegawai yang tadinya nampak begitu sehat tiba-tiba terjatuh. Acara segera dihentikan. Sebagian besar pegawai diminta kembali ke kantor agar ada cukup udara buat si Bapak yang didudukkan di sofa yang nampak begitu lemah. Kami semua sangat khawatir, dan berpikiran sepertinya Bapak ini terkena stroke. Dokter kantor pun didatangkan. Tensinya sangat tinggi, 190/110. Sehingga langsung dirujuk ke Rumah Sakit terdekat. Pas dibantu dua orang untuk berjalan, ternyata satu kakinya sudah tidak bisa digunakan untuk menapak sehingga harus dibopong beramai-ramai. Namun alhamdulillah, tidak ada hal buruk yang terjadi pada Bapak itu. Hanya harus opname selama beberapa hari dan mesti beristirahat selama kurang lebih sebulan untuk memulihkan kondisi beliau.

Satu hal yang sangat saya syukuri, Allah selalu mengajari saya dengan cara-Nya yang selalu tepat dengan kondisi jiwa saya. Walaupun mungkin seringkali saya selalu kembali lagi terpeleset atau terlupa. Tapi kejadian kali ini kembali lagi mengingatkan saya agar senantiasa waspada menjaga diri saya. Syukur ke atas-Nya, karena nyawa saya tidak dicabut-Nya saat berlangsungnya acara ‘hura-hura’ tersebut. Saya tiba-tiba merasa lemas dan bersalah luar biasa, bagaimana jika yang menimpa Bapak tersebut terjadi pada diri saya, yang kemudian menjadi akhir dari hidup saya? Duh Gusti... Sungguh, mati dalam acara berkaraoke dan berikhtilat seperti itu bukanlah kematian yang saya cita-citakan..

Semoga apa yang terjadi ini bisa menjadi pelajaran seumur hidup saya agar saya bisa lebih berhati-hati saat memutuskan untuk melangkahkan kaki ke kegiatan-kegiatan yang lebih cenderung mengundang murka-Nya.. Semoga saya tidak menjadi orang yang tahu ilmu, bisa membedakan mana yang baik dan buruk, lalu hanya karena satu dua hal yang bersifat kepentingan pribadi membuat saya tak mau tahu dengan apa yang saya tahu.. astaghfirullah.. lagi-lagi ampuni hamba Ya Rabb..

Leave a Reply