MENCINTAI SEWAJARNYA


posted by Shabra Shatila on ,

No comments


Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran-Nya, dan hal prinsip dalam ukuran ini adalah ketawazunan/keseimbangan. Maka coba tengok saja, adakah ciptaan Allah yang keluar dari keseimbangan ini? Mulai dari penciptaan galaksi dan alam semesta hingga sampai pada materi terkecil dari suatu benda yang dikenal dengan istilah atom. Semuanya sesuai dengan ukuran. Tidak lebih. Dan tidak kurang.

Jika kemudian kita menemukan fakta bahwa ada beberapa ciptaan-Nya yang memang dikehendaki untuk tidak seimbang, semisal manusia yang kakinya hanya sebelah dan seterusnya maka itu bukanlah penyimpangan dari kaidah umum, namun pasti ada hikmah yang dikehendaki-Nya untuk si makhluk tersebut dan untuk manusia-manusia lain di sekitarnya. Entah tentang kesabaran, tentang kesyukuran, tentang kelemahan manusia sebagai makhluk, dan tentang-tentang yang lain yang bila kita benar dalam memandang fenomena itu maka ada banyak pelajaran yang akan bisa diambil.

Dan ternyata, Allah tidak hanya menyifatkan keseimbangan ini pada benda/materi yang dapat terindra. Tetapi Dia juga menjadikan keseimbangan ini sebagai warna pada segala hal, pun yang sifatnya bukan materi. Misalnya ketika Dia menjadikan umat islam adalah umat yang pertengahan dan melarang sikap berlebih-lebihan (tidak wajar) dalam menjalankan agama ini.

Allah SWT berfirman, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikanmu (ummat Islam), ummat yang pertengahan dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)mu." (Al-Baqarah: 143).

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Celakalah orang-orang yang melampaui batas!' Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Muslim; 2670).

Lebih jauh lagi, ternyata Rabb Yang Paling Tahu tentang apa yang terbaik bagi kita juga telah menggariskan melalui Sabda Rasul-Nya bahwa prinsip keseimbangan itulah yang hendaknya mewarnai hati dan perasaan kita dalam aktivitas utamanya : mencintai dan membenci.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan, bencilah orang yang kamu benci sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai." (HR. At-Tirmidzi)

Cinta dan benci, adalah dua hal yang substansi/muatannya beda jauh tetapi pembatasnya hanyalah selaput tipis yang mudah robek. Jika bisa diibaratkan hati kita ini sebagai organ jantung, maka cinta layaknya darah bersih yang kaya akan oksigen sedangkan benci adalah darah kotor yang muatannya adalah karbondioksida. Pembatas dua darah yang peranannya berbeda jauh ini hanyalah berupa katup dan dinding jantung. Jika jantung melakukan aktivitas memompa dengan normal dan wajar, maka darah bersih dan darah kotor ini pun takkan merugikan karena keberadaan keduanya merupakan salah satu siklus penunjang kehidupan manusia. Namun jika karena ada tekanan yang berlebihan pada jantung sehingga ia bekerja tidak sewajarnya, maka bisa jadi akan mengakibatkan kebocoran pada dinding jantung atau katup, sehingga bercampurlah darah kotor dengan darah bersih yang jika dibiarkan akan dapat membawa pada kematian.

Begitulah dahsyatnya energi dari cinta dan benci yang tidak dikelola dengan menggunakan prinsip keseimbangan/kewajaran. Ia akan mampu membinasakan pemiliknya. Seperti kisah yang sudah sangat terkenal semisal Laila Majnun, Romeo Juliet, dan seabreg kisah roman picisan yang akhirnya ditiru oleh manusia yang mengaku dirinya para pecinta yang karena cintanya yang teramat dalam (katanya..) kepada kekasihnya maka berlakulah bagi mereka kaidah-kaidah: jika kau mati ku juga mati, atau jika kau putuskan aku maka ku mati, atau jika kau sakiti hatiku kau yang kupastikan mati. Naudzubillah..

Dan ternyata masalah ketidakwajaran dalam mencinta dan membenci ini tidak hanya menjadi problem di kalangan masyarakat awam. Di dunia para aktivis yang sudah berkeluarga pun tak kalah banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh hal ini dengan segala turunannya. Kebanyakan, bukan karena berlebihan dalam membenci tapi dalam hal mencintai.

Berapa banyak pasangan yang semula sangat memuja pasangannya tapi kemudian karena ada satu dua hal kecil yang tidak ia harapkan dilakukan pasangannya maka kemudian yang terjadi adalah pertengkaran tanpa ujung. Dengan sekejap, cinta yang menggunung tiba-tiba berganti dengan benci yang pekat bergulung-bergulung. Yang akhirnya membawa kepada perceraian dan permusuhan seumur hidup.

Maka bijak sekali Umar bin Khattab ra yang menasehati putranya: "Hai Aslam, jangan jadikan cintamu sebagai beban dan jangan sampai bencimu membuat binasa."

Aku bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Beliau mengatakan: "Jika engkau mencintai, janganlah berlebihan seperti seorang anak kecil mencintai sesuatu. Dan, jika engkau membenci, janganlah berlebihan hingga engkau suka mencelakai sahabatmu dan membinasakannya." (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad)

Atau juga yang telah diungkapkan melaui bait-bait indah para penyair.

Jika engkau membenci, bencilah dengan kebencian sewajarnya
Karena sesungguhnya engkau tidak tahu, suatu ketika engkau akan kembali

Jika engkau mencintai, cintailah dengan cinta sewajarnya
sebab engkau tidak tahu, suatu ketika engkau memutus cinta itu

(Hadbah bin Kasyram)

Cintailah kekasihmu dengan cinta sewajarnya
Niscaya tidak akan membebanimu bila kamu memutus cinta itu

Dan bencilah musuhmu dengan benci sewajarnya
Karena bila engkau berusaha untuk mencintainya maka engkau akan bersikap bijak padanya

(An-Namar bin Taulab)

Tentu saja secara naluri kemanusiaan, kita terutama para wanita akan sangat senang sekali saat suami kita mencurahi kita dengan sebanyak mungkin kasih sayang, menjadikan kita ratu tertinggi di hatinya, dan memanjakan kita dengan cintanya yang teramat dalam. Tapi berhati-hati dan tetap waspada adalah hal yang utama. Karena, cinta itu bagi kita adalah layaknya air bagi tanaman. Jika kekurangan air maka tanaman itu akan layu, meranggas, kemudian mati. Dan jika berlebihan, air itu akan membusukkan akar-akarnya dan mencerabutnya juga dengan paksa dari kehidupannya.  Maka mintalah kepada suami anda, agar mencintai anda secara wajar. Sebagaimana takaran air yang pas bagi tanaman. Yang akan mampu menumbuhkannya secara perlahan, memekarkan kuncup-kuncupnya hingga menjadi bunga, dan meranumkan buahnya hingga rasa manis kemanfaatan bisa dirasakan.

Lalu apa takaran kewajaran itu? Semoga tak lebih dan tak kurang: ilmu dan iman.
Allohu a’lam..

Leave a Reply