Dimanakah Saya Bisa Membeli Komitmen?


posted by Shabra Shatila on

No comments




Komitmen, adalah satu hal yang mutlak diperlukan dalam hal apapun. Komitmen terhadap organisasi, terhadap pasangan, terhadap keluarga, terhadap agama, juga komitmen terhadap diri kita sendiri tentunya. Karena tanpa komitmen, kita tidak akan mampu melewati rintangan-rintangan yang berserakan di jalan menuju cita-cita besar kita. Tanpa komitmen, maka kita hanya akan menjadi para penghayal dan bukan menjadi para pemimpi. Walaupun secara istilah keduanya tidaklah berbeda jauh, tapi dalam konteks aplikasi maka bagaikan bumi dengan langit. Penghayal dan pemimpi adalah orang yang sama-sama membangun cita-cita besar tentang suatu hal di masa yang akan datang. Namun bedanya, kebesaran cita-cita seorang penghayal hanya tergambar dalam batok kepalanya saja sedangkan seorang pemimpi cita-cita besarnya tak hanya ada di kepalanya namun juga melahirkan berbilang jumlah kerja dan kesungguhan amal untuk mencapainya.

Orang yang bercita-cita besar namun tanpa komitmen maka selamanya dia hanya akan hidup dalam alam khayalannya. Tapi bagi orang-orang yang membangun cita-cita besarnya di atas komitmen, maka lambat laun ia akan mencapai apa yang ia mimpikan atau jikapun tidak mencapainya maka bisa dipastikan ia telah mendekati mimpinya dengan segala proses usaha yang telah ia lakukan.

Nah, komitmen ini merupakan hal yang bagi saya sendiri adalah sesuatu yang masih harus jatuh bangun saya usahakan. Dan saya mendapati ternyata fenomena penjagaan terhadap komitmen ini pun nampaknya mulai luntur di masyarakat pun di kalangan kaum muslimin yang sudah cukup baik mengenal islam. Padahal Islam sendiri membangun dirinya di atas komitmen. Komitmen dalam islam terwujud dalam sikap amanah dan istiqomah.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu" (QS. Fushilat [41] : 30)

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al-Ahqaf [46] : 13)

Dalam suatu hadits diceritakan, sahabat Abdullah al-Tsaqafi meminta nasihat kepada Nabi Muhammad saw agar dengan nasihat itu, ia tidak perlu bertanya-tanya lagi soal agama kepada orang lain. Lalu, Rasulullah saw bersabda, ‘Katakanlah, aku beriman kepada Allah, dan lalu bersikaplah istiqamah!’ (H.R. Muslim)

Ya, islam telah meletakkan ‘komitmen’ ini begitu tinggi di mana disebutkan bahwa hanya orang-orang yang berkomitmen terhadap agama ini dengan komitmen yang benarlah yang dijanjikan oleh Allah untuk memasuki Surga-Nya tanpa rasa sedih, khawatir, maupun duka cita.

Kita pun dengan mudah bisa melihat sendiri bagaimana komitmen Rasulullah saw dan para salafus shalih terhadap risalah langit yang diembannya. Tanpa komitmen yang benar dari Rasulullah, para Shahabatnya, dan generasi setelahnya dalam mengamalkan dan mendakwahkan agama ini dengan menggadaikan waktu, tenaga, keringat, harta, darah, dan juga jiwanya; maka mungkin pada detik ini kita takkan bisa merasakan nikmatnya berada dalam pelukan akidah Islam ini. Bayangkan saja, mereka tidak hanya digempur kantuk, capek, serta tarikan-tarikan hawa nafsunya sendiri. Namun lebih dari itu, mereka juga digempur oleh syetan-syetan berwujud manusia. Yang mengatakan mereka gila, tukang sihir, melempari dengan batu, memboikot mereka sehingga sampai harus memakan daun-daunan kering untuk mempertahankan hidupnya, mengusir mereka dari kampung halamannya, menyiksa mereka dengan siksaan keji tiada tara. Namun, semua siksaan itu tak mampu meredupkan bara komitmen dalam hati mereka. Dan justru bara itu semakin menggejolak dan membuah amal yang jauh lebih dahsyat, yang bisa kita nikmati hasilnya hingga sekarang.

Tanpa komitmen, seorang Muhammad al Fatih tidak akan mampu menaklukkan kota yang telah dijanjikan Rasulullah akan takluk di bawah sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan. Beliau digembleng dan menggembleng dirinya sejak usia yang masih sangat belia. Dimana teman-temannya sibuk bermain ia sibuk berkutat dengan buku-buku. Saat teman-temannya sibuk bercanda dengan karibnya maka ia sibuk berdiskusi dengan guru-gurunya. Saat teman-temannya menghabiskan hari liburnya untuk bersenang-senang, maka ia sedang berlatih berkuda, memanah, dan belajar strategi perang. Dan semua kelelahannya itu terbayar ketika Konstantinopel bisa dirangkul dalam pelukan Islam.

Tapi, komitmen ini adalah hukum alam yang merupakan rangkaian dari hukum sebab akibat yang Dia ciptakan. Ia  tidak hanya berlaku bagi komunitas kaum muslimin. Jadi premisenya bukanlah: muslimin yang mempunyai komitmen yang akan berhasil dalam cita-citanya. Namun premisenya general: setiap orang yang mempunyai komitmen baik itu dalam hal kebaikan maupun keburukan maka ia akan mendekati apa yang ia cita-citakan. Hal ini sebanding dengan kata Ali ra yang mengatakan bahwa kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang diorganisir. Maka dalam komitmen ini akan muncul ungkapan: Cita-cita yang baik yang tidak diikuti oleh komitmen, maka ia akan tersaingi oleh cita-cita buruk yang menjadikan komitmen sebagai fondasinya. Kita bisa belajar dari terbentuknya Negara Israel, Zionisme Internasional, New World Order yang sudah menancapkan kukunya di semua Negara, organisasi, dan dalam pemikiran-pemikiran manusia. Yang hal itu tidak mungkin berhasil mereka lakukan tanpa penjagaan komitmen selama beratus-ratus tahun yang lampau hingga sekarang.

Tapi komitmen ini bukanlah barang ‘sekali untuk selamanya’. Ia butuh recharge dan pengupdate-an secara berkala dan terus menerus. Karena jika tidak, maka ia akan meredup kemudian mati. Dan inilah tantangan terbesar kita. Seringkali kita sudah mempunyai mimpi besar. Kemudian kita juga sudah menuliskan mimpi itu ke dalam grand design dengan visi dan misi yang detail. Kita juga sudah melaksanakan kerja-kerja untuk mencapai visi itu. Namun kemudian, baru berbilang tahun atau bahkan baru berbilang bulan kita sudah mulai menghapus mimpi itu. Kenapa? Karena kita tidak sabar dalam menjaga komitmen kita, sehingga kita sudah merasa pantas mencukupkan diri dengan beberapa bulan perjuangan itu. Komitmen kita luntur karena kita tidak pernah mencoba memperbaharuinya. Padahal Allah telah mengejari kita untuk selalu mengupdate komitmen. Dan tidak main-main, Allah meminta kita mengupdate komitmen terhadap-Nya 9 kali dalam sehari, dan itu pun belum termasuk jika kita melaksanakan shalat sunnah.

Anda bingung? Begini, bukankah setiap tasyahud baik awal maupun tasyahud akhir Anda akan mengucapkan kalimat ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadurrasulullah’. Nah, kalimat itulah bukti pembaruan komitmen kita terhadap agama Islam ini. Padahal dengan sekali saja mengucapkannya maka telah cukup bagi kita untuk menyandang predikat muslimin, tanpa perlu mengulang-ulangnya.

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah: jika akidah yang bagi kita mungkin sudah mendarah daging saja mesti diperbarui sebanyak itu setiap harinya, maka lalu apa yang menyebabkan kita malas memperbarui komitmen kita terhadap cita-cita kita?

Beberapa kali saya mengikuti ‘kelompok’ yang punya mimpi baik. Mereka begitu bersemangat dalam membangun mimpinya di awalnya. Namun, beberapa bulan atau beberapa tahun terlewat membuat mereka kemudian meninggalkan komitmennya perlahan-lahan. Akhirnya ya seperti ini, yang kita jumpai adalah jutaan ide besar yang tidak menghasilkan bunga yang wanginya dan buah yang manisnya bisa dinikmati umat. Komitmen kita masih kalah jauh dari sekutu-sekutu syetan yang merancang dunia agar manusia hidup dalam kegelapan. Komitmen kita masih terlampau rapuh jika dibandingkan dengan penyeru kebatilan yang rela berpeluh-peluh kelelahan.

Jika kita mau jujur dengan diri kita, sebenarnya masihkah ada alasan bagi kita untuk tidak melangkah walaupun dengan tatih-tatih kecil mendekati cita-cita kebaikan yang telah kita mimpikan? Apakah masih juga relevan kita menjadikan alasan kesibukan, rasa lelah, kantuk dsb sebagai alasan untuk meninggalkan kerja-kerja nyata untuk meraihnya? Atau kita baru akan memulai memperbarui komitmen setelah kita menemukan penjualnya?! Ah andaikan komitmen itu diperjualbelikan, saya akan memastikan bahwa sayalah yang akan berada di antrian pertama untuk membelinya..

 ---
Gambar diambil dari  http://osolihin.wordpress.com/2011/12/19/cinta-butuh-komitmen/

Leave a Reply