Dunia Hanya Sebatas Pandang Mata


posted by merah langit

1 comment

Ada seorang wanita muda berkerudung, pakaiannya sederhana, terlihat dari bahan dan potongannya. Sepertinya bukan baju mahal branded luar negeri. Wajahnya juga sederhana, tidak cantik namun tidak buruk rupa. Biasa saja.

Di satu sore itu masuk ke dalam sebuah toko di dalam sebuah mall besar, toko sepatu. Rupa2nya ia ingin membeli sepatu. Sepatu2 yang dijual disana tidak terlalu mahal, ukuran kantong mahasiswa pun sanggup membelinya. Pastinya wanita itu pun sanggup. Dilihatnya etalase demi etalase. Dalam pencariannya, pramuniaga terlihat begitu terganggu, merasa tidak yakin karena penampilannya yang sederhana. Diikutinya si wanita, kemanapun ia bergerak. Dipasangnya wajah “sepertinya kau tak akan membeli” yang judes dan tidak menyenangkan. Diperlakukan demikian, si wanita tersenyum. Kemudian keluar, ia tidak jadi membeli.

Kejadian tersebut bukan hanya sekedar ilustrasi. Peristiwa yang terjadi di depan mata saya beberapa tahun lalu, namun sampai saat ini masih terasa mengganggu. Peristiwa yang mungkin sering terjadi, mungkin ada lagi yang mengalaminya, entah berperan pada posisi pramuniaga ataupun menjadi mbak berkerudung yang dipandang sebelah mata.

Cerita itu mungkin tidak akan terjadi kalau si mbak berkerudung berpakaian glamour, memakai cincin dan kalung Syahrini yang berkilau-kilau, lalu berjalan dengan mendongakkan kepala. Si pramuniaga, saya yakin tidak akan memiliki kelancangan untuk menunjukkan raut tidak suka.

Penampilan.

Entah berapa kali kita tertipu oleh penampilan yang menyilaukan. Mata kita kini terbiasa menisbatkan sesuatu pada yang tampak luarnya, pada hal yang kasat. Penilaian mata hanya pada yang berwujud fisik dan materi.

Hasilnya, berapa banyak orang yang berusaha untuk tampil sedemikian rupa, memoles diri dengan riasan, dempul tebal, dan baju-baju terlihat mahal agar sekedar layak dihargai.

Harga diri kini mudah dibeli dari produk-produk ternama luar negeri. Tapi untuk orang berjabatan tinggi lain lagi ceritanya. Mereka yang dalam teori Maslow menempati urutan atas. Yang seluruh kebutuhan fisiknya telah terpenuhi. Mereka butuh yang lebih sekedar penghargaan, mereka butuh penghormatan.

Pada satu acara di kantor saya, pernah ada seorang pejabat (atau anggota DPR) yang ngambek saat acara berlangsung, kemudian pulang tidak jadi mengikuti acara itu hanya gara-gara dia tidak terima dengan penempatan kursi untuknya di baris belakang. Saya terkekeh waktu itu, bertanya dalam hati apakah sekedar posisi duduk dapat menurunkan harga diri dan kemuliaan.

Cobalah membaca undang-undang keprotokoleran, peraturan tentang tata urutan tempat bagi para pejabat dalam acara kenegaraan. Undang-undang itu dibuat sedemikian detailnya, siapa layak duduk di barisan yang mana atau di sebelah siapa. Dan setahu saya, apabila terdapat kesalahan sedikit saja bisa mengakibatkan kehebohan, keributan bahkan pertengkaran. Jujur, ada yang menggelitik dalam hati kecil saya. Sungguhpun aturan tersebut dibuat untuk memudahkan, tapi begitu banyak yang memaknainya sebagai simbolisasi harga diri. Menjadikannya tolok ukur penilaian, mana orang penting mana orang kurang penting, siapa yang layak dihormat, siapa yang boleh diabaikan.

Betapa menjemukannya hidup seperti ini. Saat penghargaan dan sanjung puji diletakkan pada standar duniawi.
Betapa melelahkannya,,

1 comment

Leave a Reply