MARATHON


posted by cokelat tanah on

3 comments




Saya bukan jago olahraga, namun jika digelar ujian lari marathon pada waktu sekolah dulu, saya selalu menjadi wanita kedua yang berhasil samapi di garis finish paling awal. Dan hingga hari ini saya bangga sekali dengan prestasi tersebut.

Saya --yang memiliki nafas pendek dan bolak-balik indekost di rumah sakit-- mampu mengalahakan puluhan wanita-wanita, yang beberapa diantaranya memiliki tubuh yang jauh lebih bugar. Hebat bukan??!! Mengingatnya saja sudah membuat dada saya melembung. Bahwa kemudian saya tidak pernah jadi yang pertama, itu hanya sekedar nasib sial. Kebetulan saja saya satu kelas dengan seorang atlet. Dan mengalahkannya dalam soal lari sudah saya masukan dalam katagori ‘prestasi yang terlalu berlebihan..’. ^^_

Mungkin anda terusik dengan nada kesombongan yang terkandung dalam kata-kata saya di atas. Sembari melontarkan sebuah nasehat yang menyengat ‘Hati-hati lho jueng orang sombong itu dibenci Alloh’, dan saya akan menimpali dengan jawaban “memang siapa yang sombong??!” sembari menampakan wajah bloon (klo yang ini tak perlu ditampakan, sudah Nampak dari sononya.cepak!). Saya tidak sedang menyombongkan diri tuan dan nyonya, saya sebut ini sebagai menghargai diri sendiri (hueekkkk). Hanya melakukan hal yang sewajarnya dilakukan.. Wajar kalau orang berprestasi itu diberi reward, agar ia semakin termotivasi untuk berprestasi. Dan berhubung prestasi saya sulit sekali dikenali orang, maka biarlah kewajiban member reward ini saya pikul sendiri. Hahaha

Apa strategi hebat saya waktu itu, hingga mampu membawa tubuh ringkih ini mengarungi belasan km dalam waktu yang lumayan singkat?

Setelah saya pikirkan dengan sekasama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Saya menyimpulkan modal awal saya untuk menang adalah ambisi. Sebuah keinginan yang kuat mengakar dalam dada .

Saya ingat benar betapa besarnya ambisi saya saat itu untuk bisa menjadi yang pertama. Sebuah modal awal yang tidak dimiliki oleh sebagian besar kawan saya yang lain (pembaca yang budiman teman saya yang berhasil jadi nomor satu itu sudah saya hilangkan dalam pembicaraan ini, jadi anggap saja dia tidak pernah ada dan saya menggantikan tempatny.. akurrr??!! ^^_). Dan semakin saya saya pikirkan semakin saya yakin jika saya menang bukan karena saya mempunyai kulaitas seorang pemenang. Tapi saya menang, karena teman-teman saya yang lain membiarkan saya menglahkan mereka.

‘Karena saya ingin menang saya punya sejuta alasan untuk terus berlari. Karena teman saya tidak benar-benar ingin menang mereka punya sejuta pembenaran untuk sekedar berjalan atau berhenti beberapa kali.’

Tapi sekedar keinginan saja tidak cukup kawan. Orang tetap butuh strategi dalam lintasan lari marathon. Dan itulah yang kurang dimengerti oleh sebagian kawan saya yang punya niatan sama tapi tak seberuntung saya (hakZZ). Yang mereka pikirkan hanya bagaimana berlari secepat mungkin, dan melupakan fakta terpenting dalam lari marathon: lintasannya yang panjang. Kami --yang bukan atlet dan jarang berlatih-- tidak punya cukup energi jika harus terus berlari dengan kecepatan tersebut. Maka menurut saya pilihan terbaiknya adalah berlari pelan tapi konstan. Saya mengikhlaskan teman-teman saya melesat cepat sejak dari garis start. Tidak tergoda untuk membuntut walaupun karena itu di titik awal saya jauh tertinggal. Karena saya menggenggam sebuah keyakinan, pasti di tengah jalan saya bisa menyusul mereka, dan pasti di akhir perjalanan nanti saya akan memenagkan pertandingan.

Pada saat saya mengatur ritme nafas lewat langkah-langkah pendek yang tidak dialun terlalu cepat, mereka menguras tenaga dengan kencang berlari kemudian berhenti, berlari lagi, lalu berhenti begitu seterusnya.. Yang membuat saya tidak bisa membayangkan betapa kerasnya jantung mereka bekerja. Saya berlari pelan tapi dengan kuantitas yang lebih kerap, mereka berlari cepat tapi lebih sering beristirahat. Dan hasilnya sayalah pemenangnya.. (diucapkan dengan penuh kesombongan.. astagfirulloh.. mohon ampun Ya Alloh, saya terpaksa harus menyombongkan diri..haaKzz).

Tapi jangan kira.. bertahan terus melangkah dan mempertahankan ritme langkah adalah hal mudah. Ada banyak godaan di jalanan teman. Bahkan godaan tersebut telah menampakan diri sejak dari garis awal. Langkah cepat teman-teman saya yang membuat saya jauh tertinggal menggoda saya untuk menambah kecepatan.

Jika sudah begini, sudah saatnya menggunakan rumus ‘satu dua’. Apa itu rumus satu dua? Prinspnya sama persis dengan lari-larinya bapak-bapak tentara. Ayun langkah pelan seirama dengan hitungan ‘satu dua’ yang dibunyikan secara ritmis. (Cuma yang ini ga’ pakai teriak-teriak apalagi telanjang dada…:P)

Formula ini terbukti sangat ampuh dalam menstabilkan denyut nadi. Dan karena menghitung ‘satu dua’ dengan tempo yang konstan cukup menguras kosentrasi, secara tidak langsung hasrat saya untuk mengejar pelari-pelari lain yang telah melesat jauh ke depan juga ikut teralihkan.

Tapi pun setelah segala teknik penghematan energi yang telah diterapkan, sebagai manusia biasa yang tidak punya ilmu kanuragan, mustahil bagi saya untuk terus berlar hingga finish. I still need a rest guys….

Tapi istirahat dalam lari marathon, benar-benar seperti pedang bermata dua. Harus diayun dengan teknik yang sempurna. Barangsiapa yang beristirahat secara tepat guna, akan terhidar dari insiden pingsan di tengah jalan hingga harus diangkut becak sampai tujuan. Tapi jika istirahat dilaukan secara berlebihan akan menjadi pangkal buyarnya mimpi mendudki podium utama.

Lalu bagaimanakah istarahat yang benar itu kawan? Setelah melakukan riset secara mendalam dan terperinci, saya menyimpulkan bahwa istirahat yang benar adalah istirahat yang mengikuti dua kaidah dasar dalam beristirahat. Yang pertama beristirahatlah saat Anda harus beristirahat dan bukan saat Anda ingin beristirahat. Dan yang kedua beristirahatlah selama yang Anda butuhkan bukan selama yang Anda inginkan. (jhyaaa.. kalau ini sih semua orang juga tahu kalee..^^_)

Memang terdengar sangat sederhana, tapi praktek di lapangan bisa membuat orang terkena penyakit gila (maaf,, hiperbolis memang nama tengah saya). Saat kaki mulai kesemutan karena terlalu lama diayun, saat tubuh sudah membara karena terlalu lama bekerja, saat teman-teman yang lain mulai berjalan atau bahkan berhenti, saat rindangnya bayang-bayang pohon seolah menanti untuk disinggahi, saat penjual es cendol dipinggir jalan menjelma secantik Luna Maya. Beristirahat laksana buah kuldi yang ditawarkan setan. Sangat menggoda.

Di sinilah keteguhan hati menjadi kunci. Tapi sekali lagi keteguhan hati adalah hal yang sangat mudah untuk dikatakan tapi begitu sulit untuk direalisasikan. Jika sudah begini, saatnya mengeluarkan jurus yang kedua.

Saya menyebutnya ‘pancang berhenti’ dan ‘pancang berlari lagi’. Biasanya jika tubuh saya telah menuntut haknya untuk beristirahat, saya berbisik pada diri sendiri : “Okey Nona,,, nanti dipancang depan kamu boleh berhenti berlari, mulai berjalan perlahan, atur nafas sembari istirahatkan kaki.”

Dan mantra tersebut terbukti ampuh menenangkan tubuh yang telah letih. Adanya kejelasan kapan waktu istirahat, membuat tubuh mampu mengumpulkan tenaga ekstra untuk terus berlari mencapai pancang yang telah dijanjikan. Akan berbeda cerita jika saya langsung berhenti saat tubuh saya menuntut untuk berhenti. Hal ini akan membuat saya beristirahat jauh lebih cepat dari batas kemampuan saya untuk terus berlari.

Saat saya menetapkan ‘pancang berhenti’ di saat itu pula saya telah membuat kesepakatan dengan tubuh saya, di pancang mana saya harus kembali berlari. Ini sangat penting kawan, karena bagi Anda yang pernah merasakan berlari dalam waktu yang cukup lama, Anda pasti tahu bahwa berhenti atau sekedar berjalan nikmatnya luar biasa. Karena itulah sangat penting membuat kesepakatan awal, agar tubuh tak punya pembenaran untuk istirahat yang terlalu panjang.

Masa sekolah sudah lama lewat. Tidak ada lagi lomba lari apalagi lari marathon. Tidak ada lagi gadis ringkih yang sangat berharap guru olahraganya memberikan nila delapan di buku rapornya. Tapi entah mengapa sampai hari ini, masih ada sensasi rasa tersendiri sangat mengingat masa itu.

Saat-saat berlari,,, Saat-saat berstrategi,, Saat-saat menyemangati diri sendiri.

Mungkin karena dalam alam bawah sadar, saya meyakini bahwa hidup tak lebih dari lari marathon.

Panjang, berliku, penuh godaan tapi harus dimenangkan.

Happy Running everybody,, Semoga kita berjumpa di garis finish.

-tulisan lawas yang entah dapat wangsit darimana dengan pedenya di’pamerkan’ di dunia maya. Hanya berharap tidak ada seorang pelari marathon pun yang sempat membaca rangkain rumus ngawur yang disusun berdasarkan ilmu ke-sok tahu-an …^^-

3 comments

Leave a Reply