ANAK-ANAK DUNIA


posted by Shabra Shatila on ,

1 comment


Seorang perawat lansia kalang kabut dengan ulah pasiennya beberapa hari ini. Seorang Ibu berumur 67 tahun yang menderita pengapuran tulang yang mengakibatkan ruang geraknya terbatas dan harus selalu ditemani untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Apa pasal? Tiga hari terakhir, Ibu yang biasanya penurut ini tiba-tiba saja ‘membandel’ seperti anak kecil. Mogok makan. Mogok minum obat. Menampik suntikan rutinnya.

Hari pertama si perawat masih menganggap hal itu wajar sebagai ekspresi ‘kebosanan’ terhadap rutinitas hidup yang harus dijalani ibu ini di masa senjanya. Motivasi-motivasi senantiasa diucapkan si perawat agar ibu ini mau bangkit kembali. Entah motivasi itu benar-benar tulus dari hatinya untuk kebaikan si Ibu, atau hanya sekadar untuk kepentingan dirinya. Karena bagaimanapun juga dia butuh pekerjaan dengan gaji besar ini agar tetap bisa menghidupi anak-anaknya. Kalau Ibu ini ‘mempercepat’ kematiannya dengan ulah konyolnya, maka itu berarti kiamat akan segera menyapa keluarga si perawat.
Tidak mempan juga dengan motivasi yang diberikan, si perawat menelepon anak ketiga dari Ibu ini pada hari kedua. Seorang artis wanita kenamaan negeri ini. Karena kesibukannya maka ia hanya minta disambungkan ke Ibunya agar bisa bicara sebentar. Namun si Ibu menolak. Ia diam saja meskipun gagang telepon telah menempel di telinganya dan putrinya mencoba memanggilnya.

Gagal dengan usaha yang pertama, ia mencoba menelpon anak kedua. Seorang dokter spesialis di sebuah rumah sakit paling bergengsi di Jakarta. Namun nihil, beberapa kali ditelpon tetap tidak ada jawaban juga. Jadwal operasi pasiennya pasti telah memenuhi siang malamnya.

Tidak mau berhenti sampai di situ, perawat pun menghubungi alternatif terakhirnya. Anak pertama. Seorang Direktur perusahaan bonafit yang masuk ke dalam 10 besar perusahaan terbesar di Asia Tenggara. Namun, alur kejadiannya sama persis dengan telepon kepada si anak ketiga. Si Ibu tak mau bicara.

Hari ketiga kondisi si Ibu sudah sangat begitu memperihatinkannya. Tatapan kesedihan yang begitu mendalam terpancar kuat dari pandangannya yang terlihat menerawang jauh ke masa lalu. Kondisi Ibu itu nampak begitu kontradiktif dengan kemegahan rumah yang dididiaminya. Tak ada pilihan lain, si perawat pun mengirim sms ultimatum kepada tiga anak Ibu ini. Dirinya tidak mau disalahkan jika ada apa-apa dengan si Ibu. Dia telah melakukan segala sesuatunya sesuai standard operating procedure dan kode etik perawat lansia. Selain sms ini tentu saja. Tapi menurutnya sms ini adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan di hari-hari terakhir Ibu ini. Hal terbaik yang bisa ia lakukan selama 9 tahun masa kerjanya. Hal terbaik untuknya, karena sms ini tulus dari hatinya. Dia bisa merasakan, Ibu ini sedang sangat..sangat..sangat..merindui ketiga buah hatinya.

“Kondisi Nyonya sangat mengkhawatirkan. Silakan datang sekarang, sebelum terlambat.” Sms terkirim. Hape segera ia matikan. Kabel telepon rumah tak lupa ia cabut. Dan kini dia duduk diam disamping ranjang Ibu itu. Menunggu.

Satu setengah jam berlalu. Ketiga bersaudara pun berkumpul di kamar si Ibu. Saat masuk raut mereka tegang penuh kekhawatiran. Namun kini, ada gurat-gurat kesal dan kemarahan. Entah pada perawat yang membuat mereka harus terburu-buru kesitu, entah buat tingkah konyol kekanakan Ibu mereka. Atau mungkin saja dua-duanya.

Si Artis mulai mendekat, duduk di samping ranjang Ibunya.

“Mama kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi ambegan gini?! Kami khawatir sekali sama Mama. Mama makan yaa..” sambil menyuguhkan sesuap bubur di depan mulut si Ibu. Namun tak bergeming. Si Ibu membungkam rapat mulutnya. Matanya masih menerawang jauh. Hampa.

Setelah sekian lama tiga kakak beradik itu merayu-rayu Ibunya, tanpa ada respon apapun. Maka meninggilah nada kalimat mereka.

“Ma, jangan kayak anak kecil gini dong. Kami sedang sangat sibuk. Kami sudah meluangkan waktu di sini, demi Mama. Tapi Mama ga pernah mau menghargai kami!” Si Direktur mulai kesal.

Tiba-tiba, pandangan hampa si Ibu beralih menatap nanar ke anak pertama. Marah. Sangat Marah.

“Jadi ini balasan untuk apa yang telah Mama lakukan demi kalian selama hidup Mama?!! Hardikan! Bentakan! Dan dengan kondisi Mama yang seperti ini, kalian masih juga menimbang dengan kesibukan kalian?” Nadanya sinis. Teriris.

“Bukan gitu Ma.. Maksud Abang kami sudah melakukan semua hal terbaik yang bisa kami lakukan untuk Mama. Mama jangan meminta yang aneh-aneh,, yang tidak bisa kami lakukan..” Jawab si anak tengah berusaha menenangkan keadaan

“Hal terbaik? Hal terbaik apa yang telah kalian berikan?!!”

“Apa Ma yang masih kurang? Kami bangunkan untuk Mama rumah megah agar Mama bisa beristirahat dengan nyaman. Kami berikan dokter dan obat-obat terbaik untuk Mama. Kami sewa perawat khusus. Belum lagi kami sediakan sopir pribadi, tukang masak khusus, tukang bersih-bersih rumah. Semuanya kami lakukan demi Mama.” Kata Putri Bungsu menambahi.

“Mama ga butuh itu semua!! Mama bukan robot yang bahagia hanya dengan gelimangan harta! Mama butuh kalian untuk menyenangkan hati Mama. Permintaan Mama agar kalian mengajak keluarga kalian main ke sini sebulan atau dua bulan sekali agar Mama bisa bertemu cucu-cucu Mama saja tidak kalian lakukan! Padahal jarak rumah kita tak lebih dari 2 jam! Menelepon Mama untuk memberi kabar sebulan sekali saja kalian lakukan dengan ogah-ogahan. Lalu mana hal terbaik?!!! Hah..?? Yang ada di otak kalian itu hanya kerja dan uang!! Tak pernah ada Mama!!” Kembang kempis si Ibu mengeluarkan semua uneg-unegnya. Air mata tak sanggup lagi ia keluarkan karena telah menguap terbakar marah dan kesakithatian.

“Ma, sebelum Mama bertanya apa yang sudah kami lakukan kepada Mama, harusnya kami lebih dulu bertanya. Memang apa yang sudah Mama lakukan untuk kami di masa kami kecil dulu?!!” Si Artis mulai menggugat Mamanya.

“Mama? Semua hal terbaik sudah Mama lakukan untuk kalian. Mama bekerja siang malam hanya agar kalian bisa hidup layak. Agar kalian tak merasakan pahitnya lapar dan kerasnya kehidupan. Agar kalian bisa sekolah di tempat terbaik dan setinggi yang kalian inginkan. Lalu setelah apa yang Mama lakukan, beginikah balasan kalian?”

“Memang Mama pernah bertanya kepada kami apa yang dulu kami butuhkan?! KAmi ngga butuh itu semua Ma! Kami butuh Mama! Tapi Mama hanya menjejali kami dengan materi, dengan uang, dengan gelimang kemewahan. Ya, inilah hasil pendidikan yang Mama tanamkan kepada kami. Kami adalah anak-anak materi. Mama kami adalah materi!! Lalu kenapa sekarang kami harus mendahulukan Mama daripada kesibukan pekerjaan kami?!!”

Mata wanita ‘sepuh’ itu mulai berkabut, dadanya turun naik. Ada segurat sesal hadir, menggantikan amarah yang tadi bergelegak mengalir.
“Dimana Mama saat kami ingin mengadukan isengnya teman kami? Dimana Mama saat kami butuh menangis dan ditenangkan dengan belaian? Dimana Mama saat kami ketakutan di pekat malam hujan berhalilintar?”

“Sebagaimana anak-anak lainnya kami ingin Mama mengambil rapor kami. Menemani wisata sekolah. Melihat kami di berbagai macam perlombaan. Tersenyum dan mengucapkan selamat atas prestasi yang dengan susah payah kami raih. Membacakan kami cerita-cerita. Menemani kami belajar. Mengecup kening kami dan mengucapkan selamat tidur. Mengantarkan kami ke sekolah. Memasakkan bekal untuk kami. Mendengarkan cerita-cerita kami.. Tentu saja kami tak pernah bermimpi hal itu Mama lakukan setiap hari. Seminggu atau sebulan sekali saja sudah sangat membahagiakan. Tapi pernahkah Mama terbersit untuk melakukan??? Ya, pada akhirnya kami sadar, Mama kami adalah materi. Dan anak-anak Mama pun tak lain tak bukan adalah materi pula”

Airmata luruh. Tangis pun pecah. Ruang itu menjadi saksi bisu bagi segenap penyesalan atas nama cinta. Entah masih berguna. Entah tak lagi ada nilainya..



1 comment

Leave a Reply